
Pernahkah kita merasa sangat lelah sesaat setelah marah? Dada berdegup lebih kencang, nafas terengah-engah, kadang juga disertai dengan lemasnya otot-otot? Atau ada juga yang merasa sakit kepala, nafas sesak, dan nafsu makan berkurang setelah menangis. Ketika bersedih, orang cenderung lebih malas, kurang bergairah, dan kurang antusias menerima asupan apapun.
Tanpa melihat teori atau penelitian apapun, kita menyadari bahwa tubuh dan pikiran kita saling terhubung. Apa yang terjadi pada salah satunya akan mempengaruhi pada yang lainnya. Entah yang mana yang duluan terasa.
Kadang kita menangis karena rasa sakit. Tapi tak jarang kita merasa sakit setelah kita menangis, bukan? Aku sih gitu. Tiba-tiba meriang setelah menangis semalaman.
Bagiku, ada satu hal yang bisa membuat pikiran dan tubuh kita agar saling menjaga, yaitu ekspektasi. Setidaknya itu pelajaran yang kudapat dari rasa sakit sepekan terakhir.
Sebagai seorang makhluk Tuhan yang diberi akal, sangat wajar manusia punya ekspektasi. Ketika kita sakit, kita berharap ada orang yang menolong kita, membantu melewati penderitaan itu: sakit kepala, demam, sesak, mual, apapun yang membuat tubuh kita merasa tak nyaman. Atau kita berharap ada orang yang membantu meringankan pekerjaan kita, sebab tentu rasa sakit membuat kita agak kepayahan.
Ketika sakit, tak jarang kita juga butuh perhatian. Untuk orang macam aku, yang ketika sakit saat kecil selalu mendapat perhatian penuh dari orang tua, merasa bahwa perhatian yang serupa (tentu tak sama) juga ingin dirasakan ketika sudah dewasa. Field of Experience (FoE)-ku berkata, ketika kita sakit, sudah seharusnya ada orang yang memberikan perhatian, siapapun itu.
Lagi-lagi, ekspektasi bekerja. Tapi tampaknya saat itu harapanku terlalu spesifik, dan cukup tinggi, pada seseorang. Nyatanya, keinginan tak pernah selalu terpenuhi, bukan?
… dan sebagaimana Ali bin Abi Thalib berkata, “ekspektasi pada manusia adalah hal yang paling pahit,” terbukti nyata adanya. Aku tertawa. Alih-alih sembuh, nyatanya tubuhku kena serangan tambahan. Yah, nasib.
Ada masa-masa aku merasa sendirian. Memang tak kukatakan sedang sakit pada siapapun. Untuk apa, pikirku. Toh aku bukan sedang mencari perhatian dari semua orang. Pun jika beberapa orang tahu, itu karena kebetulan harus kukatakan karena suatu urusan. Tentu saja, untuk sedikit pemakluman. Hehe.
Hingga akhirnya aku sadar, di luar perhatian yang kuharapkan, ada banyak kasih sayang yang Tuhan sampaikan kepadaku.
“Hayu aku anter ke dokter”
“Nden, masih sakit?”
“Laaahhh, masih liputan?? Istirahat atuuuh *emot nangis*”
“Teh, mau dibawain makan apa?”
“Teteh tos emam? Tos mam obat?”
“Nden bade dijemput?”
“Cepet sehat lagi ndeen(!)”
Hidup sungguh manis, bukan?
Lantas aku memilih untuk mengubur ekspektasi awalku. Karena bisa jadi—sekali lagi, bisa jadi—ekspektasi itu lebih menyakitkan ketimbang sakit yang sebenarnya.
Sejenak kurenungkan apa yang telah kudapatkan sehari terakhir. Ketika kau lepas ekspektasi itu, dan pasrah dengan apa yang terjadi, Tuhan akan mengirimkan yang lebih baik untukmu: orang-orang yang secara tulus menyayangimu. Ketika ku melihat itu semua, aku tahu Tuhan sudah memberimu lebih dari cukup.
Lebih dari cukup.
SELASA, 27 Agustus 2019.
Kereta Pasundan
08.22
Backsound: Sepanjang Jalan Kenangan
Background: Suasana perjalanan kereta Bandung – Ciamis, diketik pakai laptop impian hasil nabung pelan-pelan. Udah sarapan.




Tinggalkan komentar