People photo created by freepik – www.freepik.com

Akhir-akhir ini di linimasa Twitter dan Instagram story saya lagi rame soal “kawan yang datang hanya saat butuh”. Sedih saya bacanya. Apalagi hal itu kerap ditulis oleh influencer dengan follower ribuan, bahkan oleh akun “official”. Saya sedih bukan karena mengalami hal yang sama, atau beranggapan hal yang sama, tapi sedih melihat bagaimana mereka memaknai pertemanan. …dan khawatir, apakah mereka juga menganggapku demikian?

Isu tersebut muncul dari keresahan netizen yang merasa kawan-kawannya hanya mengontak dia saat ada butuhnya saja, saat ada maunya saja, sementara di luar itu tak pernah ada kontak. Bahkan yang tidak dekat pun menjadi ‘sok’ dekat karena ada perlunya. Ada yang salah?

Teman-temanku yang budiman, sejak kita mengenal dunia sosial, kita sudah dipertemukan dengan dunia pertemanan. Ada teman sepermainan, seperbrojolan, teman TK, teman SD, teman ngaji, teman SMP, teman SMA, teman les, teman ekskul, teman lomba, teman kuliah, teman organisasi, temannya teman yang dipertemankan oleh teman, ya teman. Di tiap kelompok itu, sebutkan ada berapa banyak temanmu.

Pun ada lagi orang yang mengkategorikan teman menjadi ‘teman’, ‘kolega’, atau ‘sahabat’. Bergantung pada seberapa dekat hubungan mereka. Soal kedekekatan ini pun relatif, tak ada ukurannya. Hanya dirasa-rasa saja. 

Dari semua daftar itu, berapa banyak yang masih stay in touch? Yang masih bertegur sapa, yang selalu menelepon setiap hari, yang masih ada kontaknya, yang masih bisa dihubungi…? 

Dan lagi apakah mereka yang tidak bisa dihubungi, tidak pernah bertegur sapa, tidak pernah nge-like postingan Instagram, tidak follow-follow-an di Twitter, tidak masuk grup chatting, atau tidak diketahui keberadaannya, lantas menjadi tidak berteman lagi?

Hari ini kita hidup di tengah tatanan dunia baru di mana konektivitas menjadi sangat berarti. Kehidupan sosial menjadi berubah di mana ruang privat dan ruang publik menjadi samar batasnya. Media sosial dan teknologi informasi dan komunikasi telah merubah semuanya. 

Jika melihat pada kasus tadi, saya belum paham, apakah mereka yang merasa terganggu dengan “teman yang datang saat butuh” ini menganggap bahwa teman haruslah yang setiap hari hadir di kehidupannya karena mengerti bahwa dewasa ini tidak ada alasan untuk tidak terkoneksi? Atau dia tidak mengerti bahwa mengoneksikan banyak teman itu butuh usaha yang sangat ekstra dan memakan waktu banyak sekali. Atau, mereka punya pengalaman buruk dalam pertemanan sehingga merubah persepsinya soal hubungan antar manusia? Entahlah, bukan kapasitas saya untuk menilai.

Sejatinya berteman adalah hubungan yang dijalin untuk saling memberi kebaikan. Kalau kata Wikipedia, pertemanan adalah istilah untuk menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Sumber lain menyebutkan bahwa pertemanan melibatkan afeksi, keterbukaan, dan kepercayaan.

Jadi, pertemanan akan lebih baik jika bisa saling memberi manfaat kebaikan. Riwayat menyebutkan, kalau mau wangi, bertemanlah dengan tukang parfum. Kalau mau pinter, bertemanlah dengan orang pintar. Jangan lupa, jadilah sebuah kebaikan sehingga teman-temanmu juga bisa mengambil manfaat darimu. Hal ini agar konstruksi soal teman menjadi seimbang, bahwa berteman bukan hanya mengambil keuntungan, tetapi juga memberi manfaat. 

Maka ketika seseorang menghubungimu untuk meminta bantuan, maka selamat, kau dianggapnya seorang teman. Teman yang ia percaya bahwa kau ada untuknya, yang bisa diandalkan pada situasi sulit yang dialaminya, yang bisa ia temui saat sekadar butuh teman ngobrol. Bukankah orang yang meminta tolong adalah orang yang sedang mengalami kesusahan?

Kawanku, di sanalah peranmu sebagai teman, yaitu untuk menyalakan pelita dalam gelapnya, membuka jalan bagi kesulitannya, memberi harapan di tengah keputusasaannya, atau sekadar memberi bahu untuk bersandar. Kamu dianggapnya sebagai penolong yang ia percayai. Bukankah itu sangat menyenangkan ketika kehadiran kita berarti untuk teman-teman kita? Mending dianggap apa tak dianggap, hayo?

Hadirnya teman-teman yang datang pada kita bisa diartikan bahwa Tuhan memberi kita kepercayaan untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat, orang yang dipercaya, dan bisa diandalkan dalam situasi sulit. Maka bersyukurlah akan hal itu.

Bukankah Tuhan telah berjanji jika kita menolong dalam kebaikan, maka Tuhan pun akan menolong kita?

Jika selama ini dia tidak menghubungi kita, bukan berarti ia tidak ada untuk kita. Saya sendiri percaya bahwa berteman bukan berarti harus Whatsapp-an setiap hari. Tetapi saya yakin teman selalu ada untuk kita. Manakala dia tak bisa membantu, bukan berarti ia tidak mau. Tak perlulah berburuk sangka dahulu. Tentu ada hal-hal yang kita tidak tahu.

Soal bisa menolong atau tidak, itu soal lain. Jika memang sedang dalam kapasitas tidak bisa membantu, katakan saja. Upayakan seperlu dan sebisanya. Tak akan ada yang menyalahkan itu. Tapi dengan mem-block orang yang membutuhkan bantuan melalui cuitan di media sosial, kuharap kita semua bisa mempertimbangkan lagi.

Hal yang kutakutkan adalah, apa yang dikatakan di media sosial tentang sikap kepada teman itu, meski terlihat sepele, tapi bisa merubah paradigma tentang pertemanan yang seharusnya mulia. Bagaimana jika orang yang sangat membutuhkan itu tak bisa mencari bantuan karena takut dicampakkan oleh teman sendiri? 😭😭😭

Jadi, tak perlu risau dengan teman-teman yang ‘cuma dateng pas butuhnya doang, ingetnya kalo lagi susah, pas seneng sendirian aja’. Kamu pun sepertinya patut berhati-hati ketika nge-tweet kalimat itu dan dibaca oleh teman-temanmu. Bayangkan apa yang akan mereka pikir tentangmu. Aku khawatir, mereka akan ragu datang kepadamu. Aku pun khawatir, ketika kamu yang mendapat kesulitan, kamupun ragu menghubungi teman-temanmu yang mungkin sebetulnya sangat bisa menolongmu. Aku khawatir, kamu kehilangan teman-temanmu. Semoga saja tidak 🙂

Satu hal yang kupahami adalah bahwa teman tetaplah teman, meski sudah lama tak bertemu, meski tak mengucapkan selamat ulang tahun, meski tak tiap hari kirim whatsapp, meski tak datang saat wisuda, meski tak menyimpan nomor kontak, meski tak pernah foto bersama, meski tak tahu di mana rumahnya atau siapa bapaknya, atau bahkan lupa namanya, tapi siapapun yang pernah mengenalku, kita tetap teman. Dan kamu bisa datang padaku kapan saja jika diperlukan. Tak perlu sungkan karena merasa tak dekat atau jarang merapat.

Kita berteman!

Renungan Tengah Malam

Ciamis, 1-4-2018 | 01.12

Tinggalkan komentar

Saya Nurul

Selamat datang di Komunikane! Di sini saya menulis tentang apa yang saya tahu, baca, atau rasakan tentang fenomena sosial yang terjadi di sekitar saya, ditulis dari sudut pandang ilmu komunikasi yang saya geluti selama lebih dari 10 tahun. Punya pendapat seru terkait topik yang saya tulis? Let me know and let’s discus!

Let’s connect