Manusia telah diberi kodrat untuk hidup dalam dua sisi berpasangan, siang dan malam, gelap dan terang, senang dan sedih. Akan ada satu masa kita tak hanya mengalami hal-hal baik, tetapi juga yang buruk. Dan itu sah-sah saja. Pun soal rasa sedih.
Banyak orang mengutuk kesedihan. Mereka menjadikannya noda yang harus segera dihilangkan. Namun bagi sebagian orang, kesedihan bukan hanya sekadar untuk dialami, tapi juga dijadikan hikmah, pelajaran, bahkan untuk kebaikan. Kepada orang-orang ini, ingin kusampaikan seribu penghormatan, sebab merekalah orang-orang kuat yang mampu bangkit dari jatuhnya, merekalah orang-orang cerdas yang selalu belajar dari salahnya, serta orang-orang dewasa yang baik hati yang menjaga agar orang lain tak mengalami kepiluan yang menimpanya.
Suatu hari kutemukan orang semacam ini datang padaku dengan segala kejutan yang dibawanya. Seorang teman–dulu tidak bisa dibilang dekat karena aku hanya berinteraksi beberapa kali saja–tetiba menghubungiku untuk sekadar bersilaturahmi. Kala itu, tepat di saat aku sedang sangat-sangat butuh bertemu dengan banyak orang, siapapun, untuk tujuan tertentu: menghilangkan kegelisahan. (Ah, ya, bagiku, bertemu dengan orang-orang yang menyenangkan cukup bisa menghilangkan kepenatan, bahkan kesedihan. Sesederhana itu.)
Maka kukatakan “ya” pada ajakannya. Siapa yang bisa menolak diajak ke warung kopi, eh?
Di sana, mengalirlah cerita-cerita kehidupan. Tentang bagaimana aku bersikap pada pilihan-pilihan, tentang dia yang juga dikejar banyak tuntutan, bahkan curhat tentang rasa kehilangan. Ehm, begitulah cerita dimulai.
Rasa kehilangan telah mengubah dirinya. Begitu intinya. Ia sempat merasa terpuruk saat ditinggalkan orang yang sangat ia pedulikan. Rasanya begitu sakit hingga sulit disembuhkan. Trauma yang dirasakannya bahkan belum hilang sepenuhnya. Ia berada pada titik nadir detak kehidupannya.
Kini, ia telah kembali menjadi sosok yang baru. Pil pahit yang ditelannya mengubahnya menuju arah yang baru. Kejadian yang lalu memang belum bisa ia lupakan. Ia simpan rapat-rapat dalam kenangan. Tapi bukan berarti ia tidak punya kekuatan.
Lalu ketika ia mendengar aku mengalami hal yang sama dengannya, ia langsung menghubungiku. Ternyata, untuk itulah ia mengajakku bertemu waktu itu. Katanya, siapa tahu dia butuh teman untuk meluapkan segalanya. Katanya, ia pernah mengalami itu, dan tahu bagaimana rasanya. Makanya, ia merasa harus berbuat sesuatu. Ia tak ingin aku berakhir seperti dirinya.
Mendengarnya, jujur saja aku terharu. Tak pernah kukira ia akan berbuat seperti itu. Semula bahkan kupikir akan kusimpan sendiri saja masalah ini. Toh orang lain belum tentu peduli.
Ternyata, datanglah ia dengan segudang motivasi untuk bangkit. Berangkat dari pengalamannya yang terbilang pahit, ia mencoba menahanku agar tidak jatuh sakit.
Ada satu hikmah yang kupetik. Bahwasanya kesedihan tidak melulu berakhir merana. Dari kepiluan, bisa tumbuh pula kebaikan, tak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain.
Mampu bangkit dari kesedihan adalah kekuatan. Tapi yang lebih kuat adalah menjadikan kesedihan itu jadi kebaikan untuk membangkitkan orang lain dari kenestapaan.




Tinggalkan komentar