Beberapa tahun terakhir ini, saya sudah sangat jarang menonton TV. Selain karena sudah tidak tinggal di rumah dan di kosan tidak ada TV, saya pikir saya sudah mulai kurang suka dengan konten tayangannya.

Tapi akhir-akhir ini, saya cukup sering nonton TV karena baru beli TV baru. Hehe. Yang saya tonton juga cuma tiga jenis tayangan, kalau bukan berita, ya acara kartun, atau sesekali film box office di malam hari.

Hari ini, saya tune channel ke RTV, ada tayangan Legenda Angling Dharma. Bukan film baru tentunya, tapi film laga jaman dulu yang ditayangkan ulang.

Saya bukan pakar film, tapi sebagai penonton awam, saya senang dengan tayangan ini. Baru sekarang ini sih saya tonton, karena dulu nontonnya cuma sampai Wiro Sableng. Film laga lainnya saya nggak sempat tonton ‘intensif’ se-intensif Wiro Sableng karena keburu masuk SMP yang pulangnya selalu sore hari.

Kembali ke Angling Dharma di RTV, saya suka sekali karena film laga zaman dulu dibuat dengan sangat total. Film-nya termasuk kolosal, karena pemainnya sangat banyak, meskipun cuma jadi cameo sebagai prajurit.

Yang paling saya suka adalah kostum dan propertinya. Sangat “niat”, sangat detil. Suasana klasik kerajaan zaman dulu sangat kentara, dari mulai desain ruangan, artefak dan dekorasi, sampai detil pernik ukiran, singgasana, dan lain-lain terlihat “meyakinkan”. Kelihatannya betulan, bukan editan di green screen.

Kostumnya juga bagus pisan. Jadi kebayang kalau Lises yang pake. Sewanya berapaeun ya? Haha. Salut banget sama tim artistiknya.

Di beberapa adegan terlihat ada gerbang kota. Dibuatnya seperti terbuat dari batu, bukan dari kardus atau kertas semen yang dicat. Hehehe. 

Bagi saya, yang bikin bingung adalah alur ceritanya. Itu jelas, karena saya nggak nonton dari episode awal, mulainya dari tengah-tengah (mungkin), atau mungkin karena cerita yang menclok-menclok? Selain itu, nama tokohnya juga sangat banyak. Agak lumayan ribet ngafalinnya, karena namanya jadul banget: Singamandala, Bahadur, Sikhasmala, Suliwa, dll.

Well, hari gini, film–yang menurut saya–berkualitas ini sudah jarang diproduksi. Yang ada adalah film laga yang dipadukan dengan suasana modern, yang menekan biaya dengan memperbanyak editing green screen ketimbang menciptakan suasana aslinya.

Padahal, kalau film laga klasik itu bisa diproduksi lebih serius, bisa jadi akan lebih disukai, bahkan dapat dijadikan media promosi dan diplomasi ke luar negeri, sebagaimana drama korea yang menginvasi Indonesia.

Kita memang belum punya produk yang memiliki diferensiasi sendiri. Kalau drama romantis sudah ada dari korea, bukan tidak mungkin laga klasik bisa datang dari Indonesia.

Hanya pikiran saya saja. 🙂

Tinggalkan komentar

Saya Nurul

Selamat datang di Komunikane! Di sini saya menulis tentang apa yang saya tahu, baca, atau rasakan tentang fenomena sosial yang terjadi di sekitar saya, ditulis dari sudut pandang ilmu komunikasi yang saya geluti selama lebih dari 10 tahun. Punya pendapat seru terkait topik yang saya tulis? Let me know and let’s discus!

Let’s connect