Nama saya Nurul Asri Mulyani. Tapi suka dipanggil Nden. Kunaon cenah tah?
Sudah ribuan kali saya menerima lontaran pertanyaan, “Nden dari mananya?” “Kok Jauh banget dari Nurul jadi Nden?” dan pertanyaan-pertanyaan sejenis. Jadi, untuk menjawab kepenasaranan netizen, akan saya ceritakan asal muasal nama “Nden”. Silakan disimak. *tring
Dalam nama Sunda, ada nama “Nenden” yang banyak digunakan untuk menamai nama perempuan. Artinya kurang lebih adalah “Bangsawan”. Ciyeee eykeu bangsawan gituh? Heuu.
Mirip-mirip lah yaa, dari Nden ke Nenden. Orang kira, panggilan Nden itu dari nama Nenden. Kalau pemirsa mau nyari rumah saya di Ciamis, lalu tanya ke tetangga, jangan cari nama Nurul. Nggak akan ketemu. Kecuali kalau nanya ke Pak RT, atau guru ngaji saya. Tetangga saya tahunya adanya nama Nenden. Neng Nenden, putrana Pa Guru Nanang. Wkwkwk.
Tapi sesungguhnya, panggilan Nden juga bukan berasal dari nama Nenden. Perlu diperhatikan, Nurul Asri Mulyani tidak mengandung kata “Nenden” sama sekali.
Berdasarkan penjelasan ibu saya, yang adalah pencetus nama panggilan ini, Nden memang bukan diambil dari nama Nenden.
“Lantas kenapa orang-orang tahunya nama Nenden kalau ternyata bukan itu,” tanyaku pada ibu suatu hari.
“Itu gara-gara Nden sendiri. Dulu waktu masih belum lancar bicara, kalo orang nanya nama, Nden jawabnya ‘den-den’ karena belum bisa nyebut ‘Nden’ dengan baik dan benar,” jawab ibu. Jadilah orang-orang memanggil dengan nama Nenden. Pun mungkin lebih lumrah nama Nenden ketimbang sebutan Nden saja.
“Nden” memang agak lebih sulit dilafalkan, sih. Dulu aja saya ngasih tahu ke orang tua angkat saat homestay di Amerika soal panggilan “Nden” mereka sama sekali nggak bisa mengucapkan itu. Jadi, tetap saja manggilnya “New-Rule” hehe.
Saking melekatnya nama Nenden, saya pernah punya sertifikat Pesantren Kilat dengan tulisan Nenden, yang mana langsung saya “tipe X” sendiri dan saya ganti dengan nama yang seharusnya. Hahaha. Namanya juga bocah.
“Tapi da ibu mah nggak pernah bilang Nenden. Nden,” tegas Ibu. Oke.
Terus apa itu Nden?
Jadi, lanjut ibu, Nden itu panggilan kepada anak perempuan Sunda, seperti halnya Neng, atau Non untuk bangsawan Belanda. Nden itu dari kata “Aden” atau “Raden”. Diambil belakangnya doang, “den”. Dikasih imbuhan N khas Sunda. Jadi weh Nden.
Iya, sesimple itu sesungguhnya.
Tapi buat ibu, ada tujuan tersendiri kenapa panggilan Nden itu dilekatkan ke saya. Katanya, meskipun saya ada keturunan Raden, tapi bukan itu alasannya. Toh kalau gelar raden itu nggak diturunkan ke anak perempuan. Pun hari gini nggak ngaruh sama sekali gelar raden itu. Kerajaannya udah nggak ada. Kalau kata ibu, punya gelar raden itu “Teu payu kana tahu tahu acan.” haha.
Jadi, panggilan Nden disematkan adalah sebagai do’a, agar perilaku Nden seperti halnya seorang raden, yang anggun, berwawasan, berwibawa, bijaksana, disiplin, dan segala sifat yang baik-baik yang biasanya dimiliki oleh orang-orang teladan.
Mungkin bagi ibu, it’s not about nobility. Instead of being a noble man, having a noble heart is the more important.
Apakah doa ibu sudah terkabul? Heuuu. Maapin yah da aku mah sebegini adanya.
Anyway, di keluarga dari pihak ibu, punya nama panggilan yang berlainan dari nama asli adalah lumrah. Mamang saya, namanya Mamat Komarudin, panggilannya Ujang. Sepupu saya, namanya Saepul Alam, panggilannya Ageng. Adiknya Ageng, panggilannya Ajeng, padahal namanya Kartika Sari. Jarauh pan? Yah, begitulah.




Tinggalkan komentar