Melepas

Sudah terlalu banyak kisah yang terlewatkan dan tak sempat untuk ditulis. Jika saja setiap hari ada waktu tersisa untuk menuliskan ingatanku pada kata-kata, aku pasti sudah bisa membuat pensieve-ku sendiri.

Tapi kini aku benar-benar ingin bercerita tentang hal penting yang telah kulalui hingga pada detik saat kutulis cerita ini.

Kau boleh menyangkaku apapun setelah ini. Entah berubah,  atau berkata ‘ternyata’. Sudah tak ingin lagi kupedulikan itu, karena telah terlalu banyak aku memusingkan apa yang kutakutkan atas pandangan orang lain terhadapku. Ya, itu memang petuah ibuku. tapi ingin rasanya satu masa aku berjalan keluar dari koridorku melihat fantasi yang lebih indah ketimbang melulu mengutuki hidup yang datar-datar saja di koridor yang mulus ini.

Suatu hari aku sudah memutuskan segalanya, berpikir atas segala resiko yang akan datang. Melihat ke belakang: apa yang telah terjadi dan terasa pada hari-hari yang sudah tak lagi sama. Sudah terlalu bosan aku berjalan dalam perasaan bahwa telah terjadi sesuatu yang salah. Andai saja pada peristiwa itu aku tak terhasut oleh ego-ego yang tak seharusnya ada, maka tak perlu aku menyakiti seseorang saat ini. Karena memang hubungan itu, bagiku, mungkin tak seharusnya ada. Karena dengan atau tanpa itu aku bisa hidup baik-baik saja.

Maaf untuk perkataan kasarku ini. Tapi kau harus tahu rasanya, agar kau mengerti (semoga) *kuanggap kau membaca ini*.

Pernah aku mencoba menepis itu dan mulai melihat kebaikan-kebaikan yang ada. Mengambil segala keindahan yang sempat terlintas di antara formalitas-formalitas yang berlalu. Dalam beberapa waktu, cara itu berhasil. Berhasil meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Berhasil membuatku percaya bahwa ini memang jalannya. Tak perlu lagi aku meragukan jawaban-jawaban yang telah ada di depan mata tentang siapa dan apa. Tapi itu tak pernah berlangsung lama. Ketika beberapa kali terlontar pertanyaan serius dari orang tua tentang ‘masa depan’, tak pernah terlontar namanya dalam percakapan apapun. Pernah ku mencoba, tapi tak berhasil. Bahkan namanya tak tersebut ketika aku berada dalam kesah.

Menyedihkan? Ya. Tapi siapa yang lebih menyedihkan, aku atau dia? Aku pun tak punya jawaban.

Maka aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kisah yang tak ingin lagi kuperankan. Karena di depan sana, aku melihat akan ada lebih banyak rintangan dari pada ini. Aku terlalu takut akan membuatnya benar-benar hilang dari pikiranku. Akan ada banyak kesibukan, tekanan, dan perasaan bersalah yang datang tanpa tahu kapan dia akan pergi. Aku tak lagi ingin berada dalam posisi yang salah. Tak mau lagi aku merasa berhutang pada siapapun atas waktu yang tak pernah bisa terbayar, atau atas perasaan yang tak sepenuhnya bisa terbalas, atau pemakluman yang tidak kubutuhkan. Aku ingin mengabaikkan segalanya. Dan menghapusnya. Agar aku, setidaknya, tak punya lagi beban untuk mengurusi urusan perasaan siapapun. Egois. Ya. Terserah.

Sejenak aku merasa sudah melepaskan beban. Menghilangkan perasaan-perasaan yang tak perlu ada. Kembali santai dan ringan menghadapi satu bulan masa KKN di kampung orang. Lega.

 

Tinggalkan komentar

Saya Nurul

Selamat datang di Komunikane! Di sini saya menulis tentang apa yang saya tahu, baca, atau rasakan tentang fenomena sosial yang terjadi di sekitar saya, ditulis dari sudut pandang ilmu komunikasi yang saya geluti selama lebih dari 10 tahun. Punya pendapat seru terkait topik yang saya tulis? Let me know and let’s discus!

Let’s connect