Perempuan Tidak Sendirian (1)

Sudah menjadi rahasia umum, sebuah isu yang tak lagi hangat, bahkan orang sudah bosan membicarakan ini: tentang apa yang selama ini terjadi pada kaum ibu, perempuan, dan semua orang yang menamakan dirinya kaum hawa. Bahwasanya dunia ini belum sepenuhnya adil pada mereka. Mereka bukanlah minoritas, bukan pula kaum yang selamanya tertindas. Tetapi selalu ada perilaku dan tindakan miring ditujukan pada mereka, entah itu sebuah bentuk diskriminasi, atau pelestarian tradisi.

Isu-isu mengenai kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal yang tabu. Sedari dulu kaum perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah, tidak memiliki kekuatan, dan memiliki derajat lebih rendah dari pada laki-laki. Paradigma ini telah tertanam dalam benak masyarakat Indonesia pada umumnya sejak ratusan tahun lalu, sebuah tradisi yang tidak mudah untuk dihilangkan. Kendatipun telah banyak wacana mengenai emansipasi perempuan, akan tetapi paradigma patriarki ini tetap bercokol kuat dalam peradaban di Indonesia dari generasi ke generasi.

Sebutlah Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan Maria Walanda Maramis, perempuan-perempuan yang merasakan betul betapa patriarki yang kuat telah mendarah daging dalam tradisi budaya mereka. Mereka sama-sama menjalani kehidupan dengan penuh hierarki bahwasanya derajat kaum wanita berada di bawah kaum pria. Hierarki ini mengekang mereka yang berpikiran maju untuk dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan apa yang mereka percayai dan yakini. Mereka sama-sama melakukan gerakan yang membebaskan kaum mereka untuk dapat memperoleh kehidupan yang setara dengan laki-laki, bahwa mereka pun berhak untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, berhak untuk didengar pendapatnya, dan berhak mengekspresikan kreativitas, ide, dan gagasan mereka. Pada tahap yang lebih ekstrim, para perempuan percaya bahwa mereka pun bisa memanggul senjata layaknya laki-laki, seperti apa yang dilakukan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Laksamana Malahayati, dan Nyi Ageng Serang.

Perjuangan-perjuangan mereka tidak pernah terhenti. Hingga kini, gerakan-gerakan pembebasan itu dilanjutkan oleh generasi-generasi masa kini. Terinspirasi dari tokoh-tokoh emansipasi perempuan di atas, muncul gerakan-gerakan dari berbagai komunitas perempuan untuk upaya kesetaraan gender. Bahkan gerakan tersebut tidak hanya dimotori oleh kaum perempuan sebagai subjek feminisme, gerakan perempuan untuk kesetaraan gender, melainkan juga melibatkan komunitas-komunitas laki-laki yang juga turut menyadari pentingnya kesetaraan gender yang lebih populer dengan sebutan laki-laki feminis.

Tulisan ini akan memaparkan tentang fenomena bahwa upaya-upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak hanya dilakukan oleh perempuan, melainkan juga laki-laki sebagai gender yang diuntungkan oleh sistem patriarki.

Tinggalkan komentar

Saya Nurul

Selamat datang di Komunikane! Di sini saya menulis tentang apa yang saya tahu, baca, atau rasakan tentang fenomena sosial yang terjadi di sekitar saya, ditulis dari sudut pandang ilmu komunikasi yang saya geluti selama lebih dari 10 tahun. Punya pendapat seru terkait topik yang saya tulis? Let me know and let’s discus!

Let’s connect